Minggu, 27 Februari 2011

Memilih Calon Isteri


By: Restless_souL
N / B: Makalah dalam format .doc nya dapat didownload di sini: download
A. PENDAHULUAN
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ
            Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah yang telah mengutus Rasul-Nya untuk memberikan pedoman kepada kaum laki-laki dalam memilih pasangan. Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepeda Nabi kita, Muhammad saw., keluarganya, para shahabatnya, dan seluruh pengikutnya yang berpegang teguh pada Sunnahnya.
            Terbentuknya keluarga sakinah merupakan dambaan setiap pasangan suami-isteri. Untuk mewujudkannya hal penting yang perlu diperhatikan adalah memilih pasangan.
            Bagi muslimin pemilihan isteri yang baik merupakan hal yang sangat mutlak, karena kelak dia akan mendidik anak dan memelihara hartanya. Oleh karena itu, para muslimin harus memiliki tolok ukur yang benar. Apabila dia berpegang pada tolok ukur yang salah bukan ketentraman, kedamaian, dan kebahagiaan yang dia dapatkan, melainkan keributan dan pertengkaran dengan pasangannya.[1]
            Makalah ‘Memilih Calon Isteri’ ini saya susun dari beberapa referensi yang saya kumpulkan sebagai tugas mata kuliah Hadits yang diasuh oleh Bapak Ahmad Zakki Mubarak, M. Ag dan disajikan pada diskusi mata kuliah Hadits tersebut.
            Pepatah mengatakan ‘Tidak ada gading yang tak retak’. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dari Bapak Dosen dan juga teman-teman untuk memperbaiki makalah ini.
            Akhirnya, mari kita semua berdo’a semoga kita sebagai orang islam dapat berpegang teguh pada kriteria yang baik dan benar sesuai dengan Al-Qur’an dan as-sunnah dalam memilih calon pendamping hidup kelak di kemudian hari. Amin. Wa Shallallahu ‘ala sayyidina wa maulana Muhammadin wa alihi wa ashhabihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.


[1] Muhammad Thalib, 20 Petunjuk Memilih Isteri, Penerbit Irsyad Baitus Salam, Bandung, 2002. h. 5.

B. HADITS, TERJEMAH DAN SYARAH
            حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللهِ قَالَ حَدَّثَنِى سَعِيْدُ بْنُ أَبِى سَعِيْدٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ  لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَ لِحَسَبِهَا وَ جَمَالِهَا وَ لِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ (أخرجه البخاري فى كتاب النكاح باب الأكفاء فى الدين)[1] (رَوَاهُ الْخَمْسَةُ)[2] (رواه الجماعة إلّا الترمذيّ)[3] (متفق عليه مع بقيّة السبعة)[4]
            Artinya :
            ...Abdurrahman Ibn Shakhar (Abu Hurairah) Ra. Rasulullah SAW bersabda : “Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena karena agamanya, maka pilihlah karena agamanya karena jika tidak binasalah kedua tanganmu” (HR. Al-Bukhary pada kitab Nikah bab Orang-orang yang mampu beragama)[5] ...maka pilihlah wanita yang beragama, niscaya engkau berbahagia” (Riwayat Khamsah)[6] ...Maka pilihlah yang beragama, mudah-mudahan engkau memperoleh keberuntungan.”[7] ...Maka pilihlah wanita yang beragama (jika tidak), maka binasalah engkau” (H.R. Jama’ah ahli hadits kecuali Turmudzi)[8] ...Lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaq ‘Alaih beserta sisa As Sab’ah (perawi yang tujuh, selain Al Bukhari dan Muslim, yaitu Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah. Pent.)), yaitu mereka yang sudah disebutkan dalam pendahuluan kitab Subulus Salam I.[9]

            Hadits tersebut, memberikan gambaran mengenai kriteria-kriteria yang menjadi bahan pertimbangan seorang lelaki dalam memilih seorang perempuan sebagai isterinya. Kriteria-kriteria tersebut adalah kecantikan, keturunan, kekayaan, dan agamanya. Orang yang mengutamakan kriteria agama, dijamin oleh Allah akan memperoleh kebahagiaan dalam berkeluarga.[10]
Ada empat kepentingan yang disebutkan dalam hadits di atas, sebagai motivasi pemilihan istri. Pertama, kepentingan ekonomi, yang diungkapkan dengan li maaliha, karena hartanya. Bahwa seorang laki-laki memilih calon istri yang memiliki harta sehingga bisa memberikan berbagai fasilitas kemudahan dalam kehidupan setelah berkeluarga nanti.
            Kedua, kepentingan sosial, yang diungkapkan dengan li hasabiha, karena keturunannya. Seorang laki-laki memilih perempuan dari keturunan yang baik-baik, dan memperhatika kemampuan reproduksi agar kelak bisa memiliki keturunan yang baik pula.
            Ketiga, kepentingan fitrah kemanusiaan, yang diungkapkan dengan li jamaliha, karena kecantikannya. Seorang laki-laki menikahi perempuan karena faktor kecantikan, sebagai bahan dari pemenuhan kepentingan fitrah dan penguat kecenderungan dan ketertarikan kepada pasangannya.
            Keempat, kepentingan agama, yang diungkapkan dengan li diniha karena agamanya. Perempuan dinikahi karena kebaikan agamanya, yang akan emnjadi jaminan kebaikan kepribadian dan urusan keluarga nanti. Dengan kepentingan agama ini, seorang laki-laki meletakkan pondasi yang kokoh bagi kehidupan keluarga. Itulah sebabnya Rasul Saw. Menjlaskan dengan “Pilihlah berdasarkan agamanya agar selamat dirimu”[11]
            Kriteria utama yang harus ditetapkan oleh para lelaki dalam memilih calon istri adalah agama, yaitu seorang perempuan yang salehah, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta berakhlak mulia. Tentu saja kepentingan yang lain tidak diabaikan, hanya haruslah berlandaskan kebaikan agama, bukan yang lain.[12]
            Rasulullah Saw. bersabda :
            Empat hal yang apabila dianugerahkan kepada seseorang berarti telah mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat; hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, tubuh yang sabar menerima musibah dan istri yang bisa menjaga diri dan harta suami (HT. Rhabarani dari Ibnu Abbas)[13]

            Empat hal yang apabila dianugerahkan kepada seseorang berarti telah mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat; hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, tubuh yang sabar menerima musibah dan istri yang bisa menjaga diri dan harta suami (HT. Thabarani dari Ibnu Abbas)[14]

Bagi seorang lelaki yang ingin menikah, hendaklah dalam memilih pendamping memperhatikan satu hal: Agama. Sebab menikah yang dilatar belakangi pilihan agama, akan selalu mendatangkan kebahagiaan. Kecantikan dan harta benda bukanlah tujuan, sebab semuanya bisa musnah bersama perjalanan waktu. Kecantikan dan harta benda tidak akan kekal dalam perjalanan mengarungi hidup berumah tangga. Harta dan kecantikan hanyalah bersifat penunjang bagi terbinanya tatanan rumah tangga yang baik, sementara pilar yang sebenarnya adalah agama.[15]
Agama atau diin ialah keyakinan yang disertai peribadatan yang sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Bila keyakinan dan peribadatan yang dilakukan seseorang menyimpang dari ketentuan syari’at Islam, orang yang melakukannya telah sesat. Untuk mengetahui ketaatan seseorang dalam beragama, kita harus berpedoman pada ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw..[16]
Bila dalam diri seorang wanita terdapat kemuliaan agama, keturunan, harta benda, dan kecantikan, maka islam tidak menghalangi untuk menikahinya, bahkan menganjurkan. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda (Tunkahu-l-mar’atu... Sampai akhir hadits sebagaimana hadits pokok dalam makalah ini).[17]
            Persoalan agama, selalu ditegaskan oleh islam. Sebab hanya dengan kekuatan agama saja rumah tangga akan tetap berjaya. Dan hanya wanita yang kuat agamanya saja yang siap diajak mengarungi suka dan duka dalam berumah tangga. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda:
“Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya, boleh jadi kecantikannya itu akan membinasakan mereka. Jangan kalian menikahi wanita karena hartanya, boleh jadi hartanya itu akan membuat mereka durhaka. Tapi nikahilah mereka atas dasar agamanya. Budak wanita yang cacat telinga lagi hitam kelam yamg memiliki agama, adalah lebih utama untuk dinikahi. “(HR. Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar).[18]

            Secara umumnya, mereka yang baik agamanya dan lebih taqwanya adalah mulia dan dipandang tinggi di sisi Allah s.w.t.
...إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ...[19]
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu…” (al-Hujuraat 49: 13)[20]
           
Orang yang menikah hanya karena dilatar belakangi harta atau kecantikan, tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan. Harta, boleh jadi membuat wanita itu congkak dan sombong terhadap suami. Kecantikan, boleh jadi membuat dirinya lupa daratan, berselingkuh dan macam-macam tingkah yang dilakukan. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda:
“Barangsiapa menikahi wanita karena kemuliaannya, maka Allah tidak menambah kecuali kehinaan. Barangsiapa menikahi wanita karena hartanya, maka Allah tidak menambah kecuali kemiskinan. Barangsiapa menikahi wanita karena kemuliaan keturunannya, maka Allah tidak menambah kecuali kehinaan. Dan barangsiapa menikahi wanita tanpa tujuan lain kecuali untuk menjaga pandangan mata dan kemaluannya, atau menyambung tali kekerabatan, maka senantiasa Allah akan memberkahi pasangan ini.” (H.R. Thabrani dari Anas dalam Al-Ausath).[21]

Menurut pandangan islam, wanita shalihah adalah perhiasan dunia yang paling mahal nilainya. Dalam hal ini Rasulullah pernah bersabda:
“Dunia adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (H.R. Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Amr bin Ash).[22]

Islam telah menggariskan, bahwa kunci kebahagiaan dan kesengsaraan manusia ada tiga. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda:
“Kunci kebahagiaan anak Adam ada tiga, demikian pula kunci kesengsaraanya. Kunci kebahagiaannya adalah wanita (isteri) shalihah, rumah yang baik dan kendaraan yang layak. Kunci kesengsaraannya adalah: wanita (isteri) yang jahat, rumah yang jelek, dan kendaraan yang tidak layak.” (H.R. Ahmad Thabrani dan Hakim dari Ismail bin Muhammad bin Sa’ad bin Abi Waqash dari ayahnya dari kakeknya. Dan termasuk hadits shahih).[23]
           
Orang yang beriman kepada Allah hanya meyakini ketentuan-Nya. Ia tidak akan mempercayai ramalan ahli nujum atau peramal misalnya, sebab orang yang mempercayai ramalannya berarti tidak sepenuhnya beriman kepada Allah. Perbuatan seperti ini disebut syirik karena berlawanan dengan keyakinan bahwa hanya Allah yang tahu segala yang ghaib. Orang yang berbuat syirik telah sesat.
            Tanda lain seseorang dikatakan taat beragama adalah bila ia menjalankan ibadah yang diperintahkan oleh Islam dengan tekun dan benar. Ibadah pokok dalam Islam dan tidak dapat ditinggalkan adalah shalat. Siapa pun yang telah memeluk Islam harus melaksanakannya. Rasulullah saw. telah menyatakan telah menyatakan bahwa shalat adalah hal pokok dalam Islam. Hal ini disebutkan dalam hadits berikut.
            عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَ أَنْجَحَ، وَ إِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَ خَسِرَ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيْضَتِهِ شَيْئًا قاَلَ الرَّبُّ عَزَّ وَ جَلَّ: اُنْظُرُوْا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلُ بِهَا ماَ انْتَقَصَتْ مِنَ الْفَرِيْضَةِ ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ أَعْمَالِهِ عَلَى ذَلِكَ
            Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Perbuatan manusia yang pertama kali dihisab pada hari kiamat kelak adalah shalatnya. Bila shalatnya tidak benar, dia akan gagal dan merugi. Jika ada yang kurang sedikit dari kewajiban yang dilakukannya, kelak Tuhan Yang Mahagagah dan Mahamulia akan berfirman: ‘(Wahai malaikat), perhatikanlah apakah hamba-Ku ini melakukan shalat sunnah sehingga dapat dapat menyempurnakan kekurangannya dalam melakukan shalat wajib, kemudian semua amalnya akan dihisab dengan cara seperti ini).’”(HR.  Tirmidzi no. 378 CD, Hadits hasan)[24]
           
Maksud Hadits ini ialah seseorang dinilai taat beragama bila menunaikan kewajiban shalat dengan benar. Seseorang yang mengaku muslim tetapi terkadang menjalankan shalat, terkadang tidak, berarti tidak taat beragama. Bila ia melakukan shalat tetapi tidak mengikuti tuntunan Rasulullah saw., shalatnya tidak benar. Orang seperti ini termasuk orang yang tidak taat beragama.
            Seorang laki-laki yang hendak menilai calon isterinya haruslah lebih dulu mengerti ajaran Islam tentang keyakinan dan peribadatan secara benar sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.. Bila dia sendiri tidak tahu hal-hal yang menjadi ketetapan dan hal-hal yang bukan menjadi ketetapan islam, tentu dia tidak akan dapat memilih calon isteri yang taat beragama dengan benar menurut ketentuan syari’at islam.[25]


[1] H. Abidin Ja’far dan M. Noor Fuady, Hadits Nabawi Memuat 50 hadits-hadits Nabi SAW Sesuai dengan Silabus Fakultas Tarbiyah, Penerbit Antasari Press, Banjarmasin, 2006. h. 50.
[2] Bahrun Abu Bakar, Terjemahan Attaajul jaami’ lil ushull fii ahaadiitsir Rasuul – 2, Penerbit Sinar Baru Aggesindo, Bandung, 1993. h. 850.
[3] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Penerbit PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1993. h. 29.
Mu’ammal Hamidy, Imron A. M. dan Umar Fanany, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadits-hadits Hukum Jilid 5, Penerbit P.T. Bina Ilmu, Surabaya, 1993. h. 2135.
[4] Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulus Salam III, Penerbit Al-Ikhlas, Surabaya, 1995. h. 401.
[5] H. Abidin Ja’far dan M. Noor Fuady, loc. cit
[6] Bahrun Abu Bakar, loc. cit.
[7] Kamal Muchtar, loc. cit.
[8] Mu’ammal Hamidy, Imron A. M. dan Umar Fanany, loc. cit.
[9] Abu Bakar Muhammad, loc. cit.
[10] Muhammad Thalib, op. cit., h. 13.
[11] http://www.baituna.info/?p=19 yang direkam pada 29 Feb 2008 14:55:15 GMT.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Abu Iqbal Al-Mahalli, Muslim Modern dalam Bingkai Al-Qur’an dan Al-Hadits, Penerbit LeKPIM Brajan, Yogyakarta, 2000. h. 177.
[16] Muhammad Thalib, loc. cit.
[17] Abu Iqbal Al-Mahalli, loc. cit.
[18] Ibid., h. 177-178.
[19] Q. S. Al-Hujuroot (49) : 13.
[21] Abu Iqbal Al-Mahalli, op. cit., h. 178-179.
[22] Ibid., h. 179.
[23] Ibid., h. 179-180.
[24] Muhammad Thalib, op. cit. h. 14-15.
[25] Ibid., h. 15-16.

C. KETERANGAN MENURUT ULAMA TENTANG ISI HADITS
As Shan’ani telah menulis di dalam kitabnya Subulus Salam yang diterjemahkan oleh Drs. Abu Bakar Muhammad, menjelaskan bahwa: Hadits tersebut memberitakan: bahwa yang mendorong orang-orang lelaki adalah salah satu dari empat perkara itu dan yang terakhir menurut mereka adalah perempuan yang beragama. Lalu menyuruh mereka, bilamana mereka sudah mendapat perempuan yang beragama itu, maka jangan hendaknya meninggalkannya. Sudah terdapat larangan menikahi perempuan, karena bukan agamanya itu. Ibnu majah , Al Bazzar dari Abdullah bin Umar yang disambung sanadnya hingga Rasulullah saw. (bahwa beliau bersabda):
لَا تَنْكِحُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ فَلَعَلَّهُ يُرْدِيْهِنَّ وَ لَا لِمَالِهِنَّ فَلَعَلَّهُ يُطْغِيْهِنَّ وَ انْكِحُوْاهُنَّ لِلدِّيْنِ وَ لَأَمَةٌ سَوْدَاءٌ خَرْقَاءٌ ذَاتُ دِيْنٍ.
Artinya:     Janganlah kamu sekalian menikahi kaum wanita itu karena kecantikannya, karena mungkin kecantikannya itu akan membinasakan mereka, dan janganlah kamu sekalian menikahi mereka karena hartanya, karena mungkin hartanya itu akan menganiaya mereka. Kawinilah mereka karena agamanya. Sungguh hamba sahaya yang hitam pekat lagi beragama adalah paling utama/lebih baik.[1]
           
            Terdapat penjelasan tentang sifat-sifat kaum wanita yang terbaik dari hadits-hadits yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata:
            قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ؟ قَالَ الَّتِى تَسُرُّهُ إِنْ نَظَرَ وَ تُطِيْعُهُ إِنْ أََمَرَ وَ لَا تُخَالِفُهُ فِى نَفْسِهَا وَ مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ.
Artinya:     Pernah ditanya: Ya, Rasulullah, Manakah/siapakah kaum wanita yang terbaik? Beliau menjawab: (Wanita yang terbaik) itu ialah wanita yang menyenangkan hati suaminya apabila ia memandang kepadanya, dia mematuhi suaminya bilamana suaminya menyuruhnya, dia tidak menentang suaminya dalam dirinya dan hartanya dengan sesuatu yang dia benci/tidak ia senangi.[2]
           
Kata “Al-Hasabu” ialah perbuatan yang baik bagi lelaki dan orang dan keturunannya. Kata “hasabu” juga ditafsirkan dengan harta dalam hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan yang beliau nilai hasan, dari Samurah yang disambung sanadnya hingga Rasulullah saw.:
            Hasab itu adalah harta dan kemuliaan dan kemuliaan itu adalah ketaqwaan. Hanya saja kata itu tidak dimaksudkan dengan harta dalam hadits ini, karena harta itu disebutkan di sampingnya. Jadi yang dimaksudkan di sini adalah menurut pengertian yang pertama.[3]
            Hadits tersebut menunjukkan bahwa persahabatan dengan orang-orang yang beragama dalam segala adalah yang paling baik, karena persahabatan dengan mereka memberikan faedah kepada kita sebagian dari akhlaknya, kebaikan mereka dan cara-cara hidup mereka, lebih-lebih isteri, paling utama untuk diperhatikan segi keagamaannya, karena dia adalah teman setidur, ibu anak-anaknya dan orang kepercayaannya yang memelihara hartanya, mengurus rumah tangganya dan memelihara dirinya.
            Sabdanya “Taribat Yada-ka” itu maksudnya kedua tangannya berlumuran tanah karena faqir miskin. Kata ini menyimpang dari kebiasaan ungkapan orang dalam percakapan, bukan karena Nabi saw. maksudkan doa dengan ucapan itu.[4]
Menurut syarah/keterangan yang di kutip dari Syekh Manshur Ali Nashif di dalam kitab beliau Attaajul jaami’ lil ushuul fii ahaadiitsir Rasuul yang diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar, L. c., beliau menulis: Hadits ini menerangkan tentang wanita-wanita yang disukai oleh kaum lelaki dan terpuji menurut syariat.
            Al-Hasab, kehormatan yang dimiliki oleh bapak-bapak dan kaum kerabatnya, seperti terkenal dengan kedermawanannya, atau keberaniannya, atau gemar menolong dan berwibawa. Tetapi kata Al-Hasab ini terkadang bermakna harta, beralasan pada hadits yang mengatakan, “Al-Hasab adalah harta, sifat dermawan dan bertaqwa.”[5]
            Wanita yamg yang biasanya disukai untuk dikawin, ialah karena faktor memiliki harta yang banyak, atau karena kecantikannya, atau karena keturunannya. Tetapi syara’ menganjurkan, “Pilihlah yang beragama (kuat dalam agamanya), jadikanlah ia isterimu, niscaya engkau akan bahagia.”[6]
            Taribat yadaaka, niscaya engkau akan merugi jika tidak memilih wanita yang kuat agamanya, karena wanita yang beragama itu dapat membawa kepada kebahagiaan.[7]
            Menurut riwayat yang diketengahkan oleh Imam Nasai dan Imam Muslim mengatakan:
            إِنَّ الدُّنْيَا كُلَّهَا مَتَاعٌ وَ خَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةِ.
            Sesungguhnya duniawi ini seluruhnya merupakan kesenangan, dan kesenangan duniawi yang paling baik ialah wanita yang saleh.[8]

            Begitu juga Syekh Fayshol bin Abdul Aziz, beliau berkata tentang penjelasan hadits tersebut di dalam kitab Nailul Authar yang diterjemahkan oleh Mu’ammal Hamidy dan yang lainnya, bahwa: dianjurkan memilih perempuan yang beragama.[9]
            Akan tetapi, Drs. Kamal Mukhtar menjelaskan hadits tersebut di dalam buku yang ditulisnya: Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, dipahami di sana bahwa hadits ter sebut menjadi dasar salah satu syarat mustahsinah, yang syarat mustahsinah itu menjadi salah satu dari dua macam syarat meminang. Yaitu: yang dimaksud dengan syarat mustahsinah ialah: Wanita yang dipinang itu hendaklah sejodoh dengan laki-laki yang meminangnya, seperti satu kedudukannya dalam masyarakat, sama-sama baik bentuknya, sama dalam tingkat kekayaannya, sama-sama berilmu dan sebagainya. Adanya keharmonian dan keserasian dalam kehidupan suami isteri diduga perkawinan akan mencapai tujuannya.[10]
            Dalam hal ini, Sheikh al-‘Azim Abad di dalam kitab ‘Annul Ma’buud Syarh Sunan Abi Daud, ada menyatakan bahawa yang sewajarnya dipilih adalah wanita yang baik agamanya dan memiliki adab yang baik agar kelak berupaya menjadi pertimbangan kepadanya dalam pelbagai urusan kehidupan, terutamanya dalam urusan rumahtangga. Oleh kerana itu, Nabi s.a.w. memerintahkan supaya mencari wanita beragama yang merupakan puncak kepada pencarian (keutamaan pilihan).[11]


[1] Abu Bakar Muhammad, op. cit., h. 402-403.
[2] Ibid., h. 403.
[3] Ibid., h. 403.
[4] Ibid., h. 404.
[5]Bahrun Abu Bakar, op. cit., h. 851.
[6] Ibid., h. 851.
[7] Ibid., h. 851.
[8] Ibid., h. 851.
[9] Mu’ammal Hamidy, Imron A. M. dan Umar Fanany, op. cit., h. 2136.
[10] Kamal Mukhtar, op. cit., h. 28-29.





D. ANALISA HADITS
&   Perawi awal hadits ini adalah Abdurrahman Ibn Shakhar (Abu Hurairah) Ra sedangkan perawi akhirnya adalah al-Bukhary.[1]
&   Sanad dan cara penyampaian Hadits tersusun sebagai berikut:
Abu Hurairah (Abdurrahman Ibn Shakhar)
(‘An’anah)

Abu Said Kisan
(‘An’anah)

Said Ibn Abu Said Kisan
(Tahdits)

Ubaidillah Ibn Umar
(‘An’anah)

Yahya Ibn Said
(Tahdits)

Musaddad Ibn Masrahad
(‘An’anah)[2]

Takhrij Hadits yaitu tabel di bawah ini:[3]










No
NAMA KITAB
KITAB/BAGIAN
NO. HADITS
1.
Shahih Muslim
Al-Radha’
2661
2.
Sunan al-Nasa’i
Nikah
3178
3.
Sunan Abu Daud
Nikah
1751
4.
Sunan Ibnu Majah
Nikah
1848
5.
Musnad Ahmad
Baqi Musnad al-Mukatsirin
9156
6.
Sunan al-Darimi
Nikah
2076


[1] H. Abidin Ja’far dan M. Noor Fuady, loc. cit.
[2] Ibid, h. 51.
[3] Ibid, h. 51.



Sedangkan Skema sanad hadits bisa dilihat di bawah ini:[1]

ABU HURAIRAH (ABDURRAHMAN IBN SAKHAR) <--- ABU SAID KISAN <--- SAID IBN ABU SAID KISAN <--- UBAIDULLAH IBN UMAR <--- YAHYA IBN SAID <--- SHADAQAH IBN AL-FADHL, YAHYA IBN AHKIM, AHMAD, MUSADDAD IBN MASRAHAD, ZUHAIR IBN HARB MUHAMMAD IBN AL-MUTSANNA

SHADAQAH IBN AL-FADHL <--- AL-DARIMY

YAHYA IBN AHKIM <--- IBNU MAJAH

MUSADDAD IBN MASRAHAD <--- ABU DAUD, AL-BUKHARI

ZUHAIR IBN HARB MUHAMMAD IBN AL-MUTSANNA <--- AL-NASA'I, MUSLIM


[1] Ibid., h. 51.

Nilai hadits Shahih riwayat al-Bukhary pada kitab al-Nikah bab al-Akfa’ fi al-Din.[1]


[1] Ibid., h. 51.

E. PENUTUP
            Dalam makalah ‘memilih calon isteri' ini, kami berupaya menghimpun bahan-bahan referensi dari buku-buku maupun dari artikel-artikel yang terdapat melalui internet. Tujuannya, agar makalah ini dapat dipergunakan secara mestinya melalui sajian diskusi pada mata kuliah hadits yang diasuh oleh Bapak Ahmad Zakki Mubarak, M. Ag. Dan agar semoga kiranya kita semua dapat terbantu mendapatkan pasangan hidup yang baik.
            Dalam makalah ini pasti masih banyak yang kurang. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin dapat menjelaskan di mana letak kekurangan makalah kami, agar wawasan kita dapat bertambah dan luas. Dan semoga kami dapat menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepada kami. Karena kami memang belum banyak mempunyai ilmu pengetahuan.
            Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu terlaksananya penerbitan makalah ini. Semoga Allah menjadikan bagi kita semua, terutama bagi para pemuda muslim yang mendambakan isteri muslimah yang shalihah, dan para pemudi muslimah yang mendambakan suami muslim yang shaleh. Kami juga berharap semoga Allah menjadikan makalah ini sebagai amal shalih bagi penyusunnya, kedua orang tuanya, pihak-pihak yang membantu penerbitannya, dan semua yang pernah mengajarkan ilmunya kepada penyusun.





DAFTAR REFERENSI
Ja’far, H. Abidin, dan Fuady, M. Noor, Hadits Nabawi Memuat 50 Hadits-hadits Nabi SAW Sesuai dengan Silabus Fakultas Tarbiyah, Antasari Press, Banjarmasin, 2006

Thalib, Muhammad, 20 Petunjuk Memilih Isteri, Penerbit Irsyad Baitus Salam, Bandung, 2002.

Al-Mahalli, Abu Iqbal, Muslim Modern Dalam Bingkai Al-Qur’an dan Al-Hadits, Penerbit LeKPIM Brajan, Yogyakarta, 2000.

Mukhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Penerbit PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1993.

Hamidy, Mu’ammal, A. M., Imron, dan Fanany, Umar, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadis-hadis Hukum, Penerbit PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1993.

Abu Bakar, Bahrun, Terjemahan Attaajul jaami’ lil ushuul fii ahaadiitsir Rasuul-2, Penerbit Sinar Baru Aggesindo, Bandung, 1993.

Muhammad, Abu Bakar, Terjemahan Subulus Salam III, Penerbit Al-Ikhlas, Surabaya, 1995.

http://www.baituna.info/?p=19 yang direkam pada 29 Feb 2008 14:55:15 GMT.

http://nursyirah.wordpress.com/2008/02/16/kriteria-memilih-calon-isteri/ yang direkam pada 4 Mar 2008 22:49:53 GMT.

N / B: Makalah dalam format .doc nya dapat didownload di sini: download